Kamis, 10 November 2011

ANALISA DRAINASE PERKOTAAN WILAYAH YOGYAKARTA


I.     PENDAHULUAN

1.1.            Sarana Drainase untuk seluruh wilayah Kota Yogyakarta meliputi drainase utama berupa Sungai Gadjahwong, Sungai Winongo dan Sungai Code, saluran drainase sekunder (pembawa) tertutup, saluran drainase sekunder (pembawa) terbuka, saluran tersier (pengumpul) tertutup, saluran tertier (pengumpul) terbuka. Seluruh sirkulasi drainase disalurkan menuju ke saluran drainase utama berujud ketiga sungai diatas.
1.       Sungai Code (39,00 km)
Sungai Code dengan hulu di daerah Kaliurang melintasi wilayah Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta, dan Kabupaten Bantul. Sungai Code bermuara di sungai Opak di daerah Jetis. Panjang alur sungai ± 39,00 km. Sungai Code merupakan system drainase utama yang paling penting untuk wilayah Kota Yogyakarta.
2.      Sungai Gajahwong (21,00 km)
Sungai Gajahwong dengan panjang alur ± 21,00 km bermuara di sungai Opak di daerah Plered. Dengan area pelayanan Ngaglik dan Depok di Kabupaten Sleman, sebagian wilayah Kota Yogyakarta, dan Banguntapan serta Plered di Kabupaten bantul.
3.      Sungai Winongo (43,75 km)
Sungai Winongo dengan panjang alur 43,75 km. Bagian hulu sungai Winongo ada di daerah Kaliurang atau sekitar Turi/Pakem. Daerah Aliran Sungai (DAS) sungai Winongo seluas ± 88,12 Km2. Sungai Winongo melintasi wilayah Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta, dan Kabupaten Bantul. Sungai Winongo bermuara di Sungai Opak pada daerah Kretek.

1.2.       Drainase Makro
Sistem drainase induk yang ada di wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah sistem drainase alam, yaitu suatu sitem yang menggunakan sungai dan anak sungai sebagai sistem primer penerima air buangan dari saluran – saluran sekunder dan tersier yang ada. Keseluruhan sistem tersebut berfungsi untuk menyalurkan air hujan dan limbah rumah tangga. Sebagian dari saluran drainase sekunder yang ada di DIY juga menggunakan saluran irigasi sebagai saluran pembuangannya.

II.       PERMASALAHAN YANG DI HADAPI

2.1 Genangan
Genangan dengan parameter luas genangan, tinggi genangan, dan lamanya genangan merupakan permasalahan utama yang menjadi fokus perhatian studi. Terjadinya genangan pada beberapa lokasi di wilayah studi secara pasti akan menimbulkan permasalahan berkelanjutan pada system interaksi sosial, ekonomi, budaya, dan aspek interkasi masyarakat lainnya. 

Gambar  : Lokasi Genangan di Kota Yogyakart
Dari hasil inventarisasi serta informasi dari berbagai sumber, penyebab terjadinya genangan tersebut antara lain adalah :
1.      Luapan dari beberapa sungai yang disebabkan oleh :
a.  Kapasitas sungai yang ada tidak mampu menampung debit banjir yang terjadi;
b. Pada beberapa lokasi penampang hidrolis yang ada tidak memadai atau tidak dapat menampung debit banjir yang ada;
c.  Pada beberapa lokasi penampang hidrolis sungai berkurang akibat dari terjadinya sedimentasi dan penyempitan penampang sungai.
d.  Akibat kerusakan tanggul sungai dan bocoran – bocoran yang tidak segera diatasi, sehingga semakin membesar tingkat kerusakan,
2.   Elevasi dari beberapa area berada di bawah elevasi muka air air banjir sungai, bahkan beberapa lokasi elevasinya berada di bawah muka air normal sungai. Dengan kondisi tersebut debit limpasan tidak bisa segera dibuang ke sungai, dan jika terjadi kebocoran pada tanggul sungai dapat menyebabkan genangan pada areal yang sangat luas.
3.   Sistem pembuang yang ada belum dibagi menurut system pembagian Block plan yang ideal, sehingga ada sungai yang melayani area terlalu besar, dan akibatnya kapasitas sungai tidak mampun menampung debit yang terjadi.
4.  Luapan dari system pembuang yang ada sebagai akibat pendangkalan, penyempitan dan penyumbatan oleh sampah;
5.  Luapan akibat gorong – gorong, sypon, dan pintu pengatur tersumbat atau tidak berfungsi
6.  Inlet saluran tidak tepat posisinya, terlalu tinggi dan sering tersumbat oleh pasir/tanah dan sampah sehingga limpasan air hujan tidak bisa/kurang lancar masuk ke sistem saluran drainase yang ada.
7.  Luapan akibat penggunaan bantaran sungai untuk kepentingan yang tidak semestinya;
8.  Akibat aliran permukaan (“debit run off”) pada saat hujan yang tidak bisa segera dibuang atau dialirkan ke sungai atau system pembuang yang ada, karena pada saat bersamaan sungai yang ada sudah penuh sehingga tidak mampu menampung tambahan debit dari aliran permukaan;
9.  Berkurangnya luas areal resapan akibat perubahan penggunanaan lahan (untuk permukiman, dan lain sebagainya);
10.  Kondisi fisik jaringan drainase yang ada sudah kurang memadai, sehingga sering terjadi kebocoran dan luapan pada tanggul saluran;
11.  Tidak terdapatnya system (jaringan) drainase yang memadai pada kawasan atau lokasi rawan banjir, sehingga debit akibat aliran permukaan tidak bisa dibuang/dialirkan secara cepat.
BEBERAPA LOKASI GENANGAN DI WILAYAH KOTA YOGYAKARTA
No
LOKASI
LUAS (ha)
LAMA GENANGAN
TINGGI GENANGAN
PENYEBAB
1
Sambirejo RT 5 dan 6 RW 1
0.88
6 JAM
1 cm
Belum ada talud Sungai Gajah Wong
2
Sambirejo
0.62


Belum ada talud Sungai Gajah Wong
3
Nyi Pembayun (Utara HS)
5.51


Belum ada SAH pada posisi barat
4
Jl. Mondorokan
3.05


SAH tidak mampu menampung
5
Jl. Kemasan
2.63


SAH tidak mampu menampung
6
LingkunganBrontokusuman RT 14,15, 16 RW 05

1.83
45 menit
35 cm
SAH terlalu sempit
7
Jl. Sisingamangaraja RT 51 RW 14, RT 60 RW 16
2.44
1-2 jam
20 cm
Tersumbatnya saluran
8
Lingkungan Karangkajen RT 57 RW 15
4.66
1-2.5 jam
30 cm
Grill tersumbat sampah dan kemiringan kurang
9
Jl. Jend. Sudirman, Utara Bethesda
0.76
30 menit
20 cm
SAH tidak mampu menampung
10
Jl. Kahar Muzakar (Jualan Buku)
1.61
30 menit
20 cm
SAH tidak mampu menampung
11
Sepanjang Kali Belik RW X, RW XV
2.30
1 jam

Sungai tidak mampu menampung
12
Pertigaan SD Giwangan RT 11 RW IV
1.39
5 jam
10 cm
Tersumbatnya Saluran Irigasi
13
Jl. Tegalturi, Depan Pamel
1.27
6 jam
10 cm
SAH tidak dapat menmpung dan tersumbatnya saluran
14
Malangan RT 37, RW 13
Depan SD Mendungan I
dan II
0.34
2 jam
25 cm
SAH tidak mampu menampung
15
RW XIV, Perempatan
Wirosaban ke Timur Jl.
Sorogenen
1.20
Selama Hujan
30 cm
SAH tidak mampu menmpung
16
Jl. Mantrigawen Lor
0.56
2 jam
20 cm
SAH tidak mampu menmpung
17
Gang Suryometaraman
RT 53, RW 14
0.35
2 jam
7 cm
Rendahnya posisi gang
18
Jl. Sawojajar RT 53,RW14
0.44
7 jam
20 cm
SAH kurang berfungsi
19
RT 03, RW 01 Barat
jl Golo sekitar balai RW
0.67
2 jam
25 cm
Saluran air tidak berfungsi
20

Jl. Kebun Raya
Gembiroloka RT 19, 20
RW 6

4.75
1 jam
10 cm
Belum ada selokan di timur jalan
21
Jl. Andong depan SMKK
1.83
2 jam
25 cm
Adanya sampah yang mmenyumbat
22
Jl. Batikan RT 31, gang
masuk Sentulrejo
0.66
1-2 hari
7 cm
Aspal tidak rata bergelombang
23
Jl.Ngasem
1.02
45 menit
30 cm
SAH tidak mampu menampung
24
Kampung
Purwodiningratan RT
46, RW IX
0.90
30 menit
30 cm
Pendangkalan SAH
25
Jl.Glagahsari
1.86
Selama Hujan
20 cm
SAH tidak mampu menampung
26
Depan Pasar
Karangwaru Lor RW 13
RT 47
1.42
Selama Hujan
10 cm
SAH tidak dapat menampung
27
Jl. Wiratama Bts
Kelurahan Pakuncen
dan Kel. Tegal Mulyo
3.85
2 jam
50 cm
Luapan dari Kelurahan Tegalrejo
28
Jl. Prof. Yohanes
2.05
15 menit
20 cm
SAH tidak mampu menampung
29
Jl. Cik Ditiro

30 menit
30-40 cm
SAh tidak mampu menmpung
30
Jl. Sarjito Timur
Jembatan
19.03
15 menit
30 cm
SAH tidak mampu menampung
31
Perum Sendok Indah
3.09


SAH tidak mampu menampung
32
Jl. Pakuncen (Batas RW
02, dan RW 04)
1.24
3-4 jam
40 cm
Lubang buangan air kurang besar
33
RW XII, Jl. Poncowolo
1.74


SAH rusak sehingga air meluap
34
Jl. Warungboto
Kampung
0.86
Selama Hujan
10 cm
Belum ada SAH
35
RT 22, RW V Jl. Patehan
Kidul - Patehan Wetan
1.31
2 jam
30-40 cm
Selokan Kurang besar, usul pembuatan selokan pada sisi selatan jalan
36
Pertigaan Jalan Veteran
0.78
Selama Hujan
15 cm
Tidak dapat mengalir ke timur karena lebih
rendah dari jalan
37
Halaman Camat
Umbulharjo
0.43
10 cm

Air tidak dapat keluar karena air relative rendah





Khusus untuk Kota Yogyakarta data genangan yang menjadi prioritas adalah
genangan di 11 (sebelas) lokasi yaitu :

1.      Genangan di Kel. Pakuncen
2.      Genangan di Kel. Prawirodirjan
3.      Genangan di Kel. Klitren
4.      Genangan Jl. Bimosakti
5.      Genangan di Tahunan
6.      Genangan di Kt.Gede
7.      Genangan di Giwangan
8.      Genangan di jl. Parangtritis
9.      Genangan jl Soka
10.  Genangan perempatan Gondomanan
11.  Genangan Panjaitan



2.2 Kebijakan Pembangunan Antar Kawasan
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa penanganan permasalahan drainase harus merupakan suatu kegiatan yang berskala regional dan bersifat lintas wilayah maupun lintas sektoral. Penanganan permasalahan di Kota Yogyakarta tanpa menangani permasalahan yang ada di kawasan hulu (Kab. Sleman) maupun kawasan hilir (Kab. Bantul) tidak akan memberikan solusi yang bersifat jangka panjang. Demikian juga kaitan antara infrastruktur drainase dengan infrastruktur lainnya harus mendapat perhatian yang seksama, sehingga penanganan yang dilakukan merupakan suatu kegiatan yang komprehensif.
Dalam kaitan dengan topik ini, maka permasalahan yang terkait dengan kebijakan pembangunan antar kawasan antara lain adalah : 1.) Belum adanya kebijakan yang terpadu antar wilayah kota dan kabupaten di propinsi DIY untuk pengendalian kawasan resapan di daerah hulu sungai, 2.) Belum adanya peraturan untuk pengendalikan luas lahan terbuka sebagai daerah resapan air, 3.) Belum adanya koordinasi dari para pelaku pengelolaan dari setiap komponen infrastruktur dalam perencanaan maupun pembangunannya.

2.3 Koordinasi Pengawasan Pembangunan
Koordinasi pengawasan pembangunan diperlukan untuk mencegah terjadinya permasalahan yang menimbulkan dampak merugikan dari aspek drainase (termasuk mencegah terjadinya banjir). Sebagai contoh suatu kawasan dengan elevasi di bawah muka air banjir sungai terdekat, maka perencanaan pembangunan sarana dan prasarana di kawasan tersebut harus sudah mengantisipasi kemungkinan terjadinya banjir, yaitu dengan melakukan penimbunan sampai batas peil banjir sebelum prasarana tersebut dibangun.
Pembangunan suatu jaringan drainase di suatu kawasan tidak bisa hanya didasarkan pada data masukan dari kawasan internal. Kapasitas saluran yang direncanakan harus memperhatikan kapasitas saluran yang sudah ada di kawasan lain, sehingga sistem yang dibangun tidak memberikan dampak negatif terhadap kawasan lain. Dengan koordinasi pengawasan yang efektif dampak negatif tersebut dapat dihindarkan. Lemahnya koordinasi pengawasan pembangunan merupakan masalah yang sering terjadi dalam pembangunan wilayah DIY. Lemahnya koordinasi pengawasan pembangunan dapat dilihat pada uraian berikut ini :

2.3.1 Perubahan Peruntukan Lahan
Pada dasarnya, peruntukan lahan pada suatu kawasan sudah ditentukan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang sudah disyahkan oleh Bappeda. Namun pada prakteknya, ketentuan tersebut tidak selalu  dipatuhi oleh berbagai pihak yang terlibat dalam kegiatan pembangunan di Wilayah Studi. Hal yang paling sering terjadi adalah kawasan penampungan/resapan air atau kawasan hijau terbuka dirubah peruntukannya menjadi kawasan perumahan atau kawasan industri. Akibat dari perubahan peruntukan lahan tersebut, maka luasan dari kawasan ”parkir” air hujan akan berkurang secara sistematis dan pada akhirnya akan memperparah masalah banjir di wilayah studi.
2.3.2 Pelanggaran terhadap Rasio KDB
KDB atau Koefisien Dasar Bangunan adalah suatu rasio yang menunjukan perbandingan antara luas bangunan terhadap luas lahan yang tersedia. Sehingga untuk luas lahan yang sama, apabila rasio tersebut semakin besar maka bangunan yang boleh didirikan juga semakin luas.Rasio KDB ditetapkan oleh Dinas Tata Kota dengan mengacu pada kondisi dan peruntukan lahan pada lahan yang akan didirikan bangunan. Dengan demikian, rasio KDB merupakan batas maksimum yang diperbolehkan oleh Dinas Tata Kota untuk mendirikan bangunan pada suatu wilayah. Namun pada umumnya, batas rasio tersebut seringkali dilanggar oleh para pemilik bangunan dalam upaya untuk mendapatkan bangunan yang lebih luas. Apabila pelanggaran rasio KDB tersebut dilakukan secara massal dan terus menerus, maka luas lahan terbuka akan menurun secara drastis dan pada akhirnya akan memperparah masalah banjir di wilayah studi.
2.3.3 Diabaikannya batas Peil Banjir
Sebagaimana dijelaskan pada sub bab sebelumnya, dimana salah satu penyebab banjir di wilayah studi adalah elevasi kawasan perumahan yang berada di bawah muka air banjir sungai maupun di bawah muka air normal, sehingga kawasan atau area perumahan tersebut menjadi kawasan yang rawan banjir. Kondisi tersebut terjadi karena pelaksanaan pembangunan kawasan perumahan oleh Pengembang tidak memperhatikan peil banjir yang ada. Pengembang seharusnya melakukan penimbunan sampai pada batas peil banjir sebelum mulai melaksanakan pembangunan perumahan.

2.3.4 Pelanggaran Penggunaan Lahan Pada Kawasan Konservasi
Hal lain yang sering terlihat dari lemahnya koordinasi pengawasan pembangunan adalah digunakannya lahan yang berada pada kawasan konservasi untuk keperluan pembangunan. Pelanggaran tersebut mengakibatkan berkurangnya luasan dari kawasan konservasi dan pada akhirnya akan mengurangi luasan dari kawasan resapan atau ruang hijau terbuka.

2.4. Tinjauan Terhadap Sistem Penyaluran Air Hujan Yang Ada
Tinjauan terhadap sistem penyaluran air hujan yang ada akan mencakup tinjauan terhadap sungai sebagai badan penerima air utama, dan sistem saluran sebagai badan pembawa.
2.4.1 Tinjauan Terhadap Sungai Induk
Perhitungan mengenai kapasitas sungai berdasarkan profil sungai yang ada untuk kemudian dibandingkan dengan debit banjir hasil perhitungan dengan periode ulang 10 tahun, akan memberikan gambaran mengenai kemungkinan terjadinya atau tidak terjadinya luapan pada sungai dimaksud. Sampai saat ini data profil sungai dan data debit banjit dari sungai – sungai utama di wilayah studi belum didapatkan. Meskipun demikian berdasarkan peta banjir dari Proyek Pengendalian Banjir DIY (dahulu) kemungkinan terjadinya banjir hanya pada lokasi – lokasi seperti yang terlihat pada gambar 9.13. Dimana pada lokasi – lokasi tersebut telah dibangun tanggul banjir kecuali untuk lokasi Pundong kearah Kedungmiri.
2.4.2 Tinjauan Terhadap Saluran Yang Ada
Meliputi tinjauan dimensi, keadaan saluran, perlengkapan saluran yang ada, serta hal – hal lain yang dianggap perlu sehingga dapat diharapkan akan didapat dimensi saluran yang sesuai. Hasil pengamatan lapangan adalah sebagai berikut :
a.         Tingkat pelayanan sistem yang ada masih rendah dalam konteks perbandingan antara luas yang harus dilayani dengan panjang sistem yang sudah terbangun/terpasang.
b.         Kapasitas saluran belum di disain menurut sistem blok kawasan yang harus dilayani, sehingga ada beberapa saluran yang melayani suatu kawasan terlalu luas.
c.         Sedimentasi dan timbunan sampah menyebabkan kapasitas pengaliran saluran berkurang, akibatnya terjadi luapan.
d.         Genangan yang terjadi dari hasil pengamatan disebabkan oleh luapan, baik dari jaringan tersier, sekunder maupun primer.
e.         Sistem jaringan belum tertata menurut hirarki saluran, dimana hirarki ini akan menentukan besarnya kapasitas pengaliran yang direncanakan. Dari hasil pengamatan ada sistem sekunder yang dimensinya lebih kecil dari sistem tersiernyae.Ukuran gorong – gorong yang terlalu kecil, kerusakan gorong – gorong maupun kerusakan pada saluran merupakan salah satu penyebab terjadinya luapan dan genangan.

2.5 Pemeliharaan Prasarana dan Sarana Drainase
Akibat keterbatasan dana, selama ini pemeliharaan prasarana/sarana drainase kurang mendapat perhatian yang cukup dari Instansi yang berwenang. Pemeliharaan prasarana/sarana tidak dilakukan menurut suatu pola yang teratur. Biasanya pemeliharaan akan dilakukan apabila kondisi kerusakan sudah parah atau untuk mengatasi kondisi darurat dan pemeliharaan tersebut dilakukan secarapartial tidak secara menyeluruh.
Akibat dari tidak teraturnya pemeliharaan yang dilakukan, maka :

Prasarana/sarana drainase tidak berfungsi dengan optimal.
Meningkatnya kerugian yang diderita oleh masyarakat.
Meningkatnya biaya pemeliharaan.
Kurangnya kesadaran masyarakat mengenai arti penting sarana drainase untuk menjaga kesehatan lingkungan juga merupakan salah satu permasalahan yang perlu mendapat perhatian. Semua pihak paham bahwa membuang sampah di selokan akan dapat menimbulkan banjir karena kapasitas saluran menjadi berkurang. Namun faktanya hal – hal tersebut masih terus terjadi.

III.          ANALISIS PERMASALAHAN
Analisis permasalahan sebagai bahan rekomendasi didasarkan pada komponen – komponen yang menjadi variabel dalam konsep penataan sistem drainase. Komponen-komponen yang perlu diperhatikan di dalam penataan sistem drainase antara lain :
3.1. Pola Aliran
Pola aliran harus dibuat sedemikian rupa sehingga memenuhi Rencana Tata Ruang Wilayah, baik dalam aneka ragam fasilitas yang direncanakan oleh tata ruang tersebut, maupun pentahapan pelaksanaan tata ruang tersebut. Proporsi pembagian daerah alirannya lebih ditentukan oleh kondisi topografi daerahnya, sedangkan penentuan arah alirannya ditentukan oleh lereng lahan yang dibuat drainasenya. Pola aliran dan jenis pengalirnya didesain sedemikian rupa sehingga mendukung prinsip desain saluran yang  memerlukan pemeliharaan seminimum mungkin. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penentuan pola aliran adalah :
Badan penerima air eksisting Jaringan sungai yang ada dalam suatu wilayah perencanaan,
merupakan titik akhir dari aliran air yang ada.
Sistem drainase yang ada dalam perencanaan pola aliran, sedapat mungkin tidak merusak pola alami/buatan yang sudah ada sehingga pekerjaan yang dilaksanakan akan menjadi lebih ekonomis dan memungkinkan untuk menjangkau seluruh saluran di daerah tersebut.
Topografi daerah aliran pola aliran yang mengikuti kemiringan lahan akan mempermudah pengaliran air dan selain itu pekerjaan akan menjadi lebih ekonomis dan mudah dalam pengoperasiannya.
Jalur jalan yang ada sering dipergunakan dalam penentuan pola aliran sehingga pola aliran drainase akan dibuat mengikuti jalur jalan yang ada.
Batas administrative daerah aliran diperlukan untuk menentukan kapasitas dari air yang melimpas kedalam saluran dan menjadi beban bagi Instansi yang berwenang pada daerah administratif tersebut.
Pembenahan pola aliran untuk suatu daerah yang sudah lama berkembang terutama untuk daerah yang terletak di zona aliran pantai adalah sebagai berikut :
•  Jika daerahnya cukup tinggi di atas elevasi air pasang, maka penataan drainasenya bisa menggunakan kanal-kanal yang bisa dialirkan ke sungai terdekat.
•  Untuk daerah elevasinya lebih rendah dari air pasang maka harus dibuat polder yang dilengkapi dengan danau penampungan dan instalasi pompa. Untuk menekan besarnya kapasitas pompa yang dibutuhkan, sistem polder ini bisa dikombinasikan dengn pemakaian pintu-pintu klep.
Perencanaan sistem drainase pada suatu daerah reklamasi baru sebaiknya memakai sistem polder. Keuntungan dari sistem tersebut adalah menghindari pemakaian material tanah urug yang terlalu besar sehingga dampak negatif yang mungkin timbul pada lokasi sumber material urug dapat dihindarkan.
3.2.  Normalisasi Sungai - sungai dan Saluran Drainase

Kapasitas pengaliran sungai mengalami penurunan akibat sedimentasi, endapan sampah dan berbagai bangunan yang berada di bantaran sungai serta akibat kegiatan manusia lainnya. Begitu juga yang dialami oleh saluran-saluran yang ada, sehingga daerah yang seharusnya masih tergolong aman banjir menjadi daerah yang rawan banjir. Untuk mengatasi masalah tersebut perlu diadakan normalisasi sungai-sungai dan saluran-saluran drainase. Normalisasi yang perlu dilakukan bergantung pada kondisi masing-masing sungai/jalur drainase

3.3. Mengembalikan Fungsi Bantaran Sungai
Keberadaan bantaran bagi sungai adalah sangat penting dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sungai itu sendiri, karena bantaran berfungsi sebagai lahan cadangan sungai untuk menampung debit banjir yang besar. Pada sebagian sungai kondisi dan batas bantaran ini tidak jelas, sebaliknya ada yang mempunyai bantaran yang jelas dengan batas berupa tanggul alam dan bertanda bebas aliran air yang jelas pula. Tentu saja tidak seluruh sungai mempunyai bantaran karena lahan bantaran tersebut terbentuk secara alamiah dari sungai yang bersangkutan.
Untuk mengembalikan fungsi bantaran ini perlu dirintis dengan mengadakan pendataan/inventarisasi bantaran dengan batas-batasnya, diberi tanda dan memberikan penjelasan kepada masyarakat akan batas dan manfaat bantaran sungai tersebut.
Selain itu untuk mengantisipasi perkembangan pembangunan yang pesat di masa mendatang, pemerintah hendaknya konsisten terhadap pemanfaatan daerah bantaran sungai ini, sehingga bantaran tetap berfungsi seperti yang dikehendaki.
3.4 .Pembuatan Tandon Air
Pembangunan tandon-tandon air buatan pada beberapa lokasi yang potensial untuk dikembangkan sebagai kawasan retensi air hujan. Dengan adanya tandon – tandon air, maka debit air yang mengalir ke badan penerima air akhir (sungai) dapat dikurangi sebesar kapasitas embung atau tandon air tersebut. Untuk lebih jelasnya, contoh tandon air tersebut dapat dilihat pada Gambar berikut

3.5.Pemeliharaan Sarana Drainase
Sarana drainase yang terbangun akan berfungsi sebagaimana yang diharapkan jika disertai dengan upaya pemeliharaan yang baik pula. Ada beberapa unsur yang diperlukan untuk menunjang suksesnya pemeliharaan ini, antara lain :
1.Tersedia badan/lembaga yang khusus menangani masalah tersebut
2.Adanya peraturan yang mendukung
3.Penyediaan dana yang memadai
4.Melibatkan peran serta masyarakat
Secara konsepsi kegiatan pemeliharaan ini dikelompokkan menjadi 3 (tiga) tipe, dimana pengelompokkan ini dilakukan menurut maksud dan sasaran kegiatan pemeliharaan. Tipe pemeliharaan tersebut adalah :
1.Pemeliharaan rutin            : pemeliharaan dilakukan secara rutin dari waktu ke waktu dengan tujuan untuk menjaga kondisi prasarana drainase agar tetap dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Sasaran pemeliharaan rutin adalah kerusakan – kerusakan kecil, pembersihan sampah dan kegiatan pemeliharaan lain yang tidak memerlukan biaya besar.
2.Pemeliharaan Berkala       : pemeliharaan dilakukan secara berkala dalam periode waktu (3 bulan, 6 bulan) tertentu dengan tujuan untuk mengembalikan kondisi prasarana drainase agar kembali berfungsi sebagaimana mestinya. Sasaran pemeliharaan berkala adalah kerusakan – kerusakan yang cukup berat, dimana bila kerusakan tersebut tidak segera ditangani akan berkembang menjadi semakin besar atau membahayakan dan dapat menimbulkan kerugian yang lebih besar. Kegiatan pemeliharaan berkala memerlukan penanganan teknis yang detail dan biaya yang lebih besar.
3.Pemeliharaan Darurat       : pemeliharaan darurat dilakukan untuk mengatasi kondisi – kondisi darurat yang terjadi, yang memerlukan penanganan dengan segera. Sebagai contoh adalah tanggul yang jebol pada saat musim hujan yang segera memerlukan penanganan yang bersifat darurat.


3.6.Pembuatan Sumur Resapan
Permasalahan lingkungan yang sering terjadi adalah terjadinya banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Selain itu, pada beberapa tempat terjadi pula penurunan permukaan air tanah. Hal ini disebabkan adanya penurunan kemampuan tanah untuk meresapkan air sebagai akibat adanya perubahan lingkungan yang merupakan dampak dari proses pembangunan.
Salah satu strategi atau cara pengendalian air yang baik untuk mengatasi banjir atau kekeringan adalah dengan cara meningkatkan kemampuan tanah meresapkan air hujan, yaitu dengan pembuatan sumur resapan terutama pada kawasan pemukiman. Pembuatan sumur resapan ini merupakan upaya untuk memperbesar resapan air hujan ke dalam tanah dan memperkecil aliran permukaan (run off) sebagai penyebab banjir. Dengan demikian, semakin banyak air yang mengalir ke dalam tanah berarti akan banyak tersimpan air tanah di bawah permukaan bumi. Air tersebut dapat dimanfaatkan kembali melalui sumur- sumur atau mata air yang dapat dieksplorasi setiap saat.
Dengan adanya sumur resapan maka jumlah aliran permukaan akan menurun sehingga terkumpulnya air permukaan yang berlebihan di suatu tempat dapat dihindari. Dengan demikian, bahaya banjir dapat dikurangi pula. Di sisi lain, menurunnya aliran permukaan juga akan menurunkan tingkat erosi tanah.


Dari uraian diatas, tampak bahwa sumur resapan memiliki beberapa fungsi yang positif bagi lingkungan. Adapun fungsi dari sumur resapan, antara lain :
Pengendalibanjir
Konservasitanah
Menekan laju erosi
Melihat banyaknya manfaat dari sumur resapan bagi kelestarian lingkungan hidup maka pembuatan sumur resapan perlu diterapkaan dalam kehidupan masyarakat, terutama di wilayah perkotaan. Upaya tersebut akan berfungsi apabila seluruh masyarakat sadar dan mau menerapkannya, karena peran sumur resapan tidak akan berarti apabila hanya beberapa penduduk saja yang menerapkannya.
3.7.Penanggulangan Erosi Lahan
Banyak upaya yang harus dilakukan untuk menanggulangi masalah erosi lahan ini di antaranya dapat dikelompokkan kedalam dua jenis, yaitu upaya penanggulangn secara fisik dan upaya penanggulangan secara non- fisik.
3.7.1.Upaya Penanggulangan Secara Fisik
Kegiatan ini dapat dimulai dengan mengadakan inventarisasi jenis kerusakan lahan yang terjadi, dan mengadakan data tentang jenis tanah yang ada pada kawasan perbukitan serta menetapkan standar yang akan ditetapkan sesuai dengan keadaan setiap lahan menurut kategori yang homogen.
Metodologi yang dapat diterapkan misalnya pembuatan “terassering” atau pengendalian dengan check dam, pada kawasan yang berlereng cukup terjal. Metoda penanaman rumput, perlu sampai ke penanaman pohon biasanya sering digunakan untuk mengatasi erosi lahan, namun waktu yang diperlukan akan cukup lama, sehingga diperlukan bangunan penangkap erosi untuk daerah-daerah kritis sebelum program jangka panjang/penanaman pohon mulai berfungsi.
3.7.2 Upaya Penanggulangan Secara Non Fisik
Upaya ini memerlukan waktu yang relatif lama, karena melibatkan penduduk yang berdiam di sekitar lahan erosif. Upaya ini meliputi penyebarluasan informasi pembangunan yang berwawasan lingkungan, antara lain menyangkut persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi dalam pemberian izin bagi pembangunan kawasan baik industri, pemukiman maupun wisata.

3.8. Penataan Sistem Penyaluran Air Hujan

3.8.1 Umum
Penyaluran system air hujan merupakan faktor dominan bagi penataan system drainase di Wilayah Studi. Faktor – faktor yang perlu diperhatikan dalam penataan system drainase Wilayah Studi adalah mengenai sistem penyaluran air hujan yang ada, daerah pelayanan, topografi, geologi, dasar perencanaan dan Rencana Tata Guna Lahan di masa yang akan datang.
Sistem yang direncanakan adalah sistem yang terpisah dari saluran pengumpul air buangan kota. Dalam perencanaan sistem penyaluran air hujan digunakan beberapa parameter, dalam menentukan arah jalur saluran drainase terdapat batasan – batasan sebagai berikut : 
1. Arah pengaliran mengikuti garis ketinggian yang ada sehingga diharapkan terjadi aliran secara gravitasi.
2. Pemanfaatan sungai atau anak sungai sebagai badan air penerima dari out fall yang direncanakan.
3. Menghindari banyak perlintasan saluran pada jalan, sehingga mengurangi penggunaan gorong – gorong.
4. Untuk saluran dengan dimensi lebar yang cukup besar seperti saluran induk, diusahakan tidak terletak di sisi jalan karena akan memperbanyak jembatan persil rumah.

3.8.2 Rencana Jaringan Sistem Penyaluran Air Hujan
Rencana sistem jaringan drainase yang dikembangkan harus didasarkan pada keadaan topografi, letak badan air penerima .  Berdasarkan faktor tersebut di atas akan ditentukan sistem jaringan drainase mulai dari saluran induk, sekunder dan seterusnya.
Dengan diketahui luas daerah pelayanan, terutama yang menjadi luas tangkapan suatu jalur sungai yang artinya luas daerah dimana aliran permukaan akan ditampung oleh jalur sungai, maka akan dapat ditentukan debit pengaliran air hujan. Sehingga dapat mentukan pembagian blok – blok pelayanan mana yang akan ditampung oleh suatu sungai. Dengan demikian dapat dicegah kemungkinan meluapnya badan air penerima yang disebabkan besar debit pengaliran air hujan yang diterima melebihi daya tampung.

3.8.3 Pembagian Daerah Pelayanan
Yang dimaksud daerah pelayanan adalah luas Wilayah Studi yang direncanakan akan diperhitungkan dalam sistem penyaluran air hujan. Dengan diketahui daerah perencanaan maka dapat ditentukan besar debit pengaliran.
Daerah pelayanan ini akan dibagi menjadi beberapa blok pelayanan, dimana setiap blok pelayanan akan dilayani oleh sebuah saluran. Dasar dari pembagian blok pelayanan ini terutama pada keadaan letak dari badan air penerimanya dan setiap blok ditentukan koefisen pengalirannya. Pembagian Blok daerah pengaliran ditentukan berdasarkan pertimbangan sebagai berikut :
1.      Luas daerah dari blok pengaliran akan dibatasi, dengan pertimbangan agar air hujan dapat tertampung pada saluran dengan dimensi tertentu yang tidak terlalu besar. Dimensi saluran drainase kota yang terlalu besar akan terlalu sulit untuk direalisir karena terkait dengan masalah lahan yang tersedia,
2.      Topografi daerah untuk menentukan arah aliran, dimana secaraprinsip arah aliran harus mengikuti arah kemiringan lahan yang ada,
3.      Jarak pengaliran dibatasi tidak terlalu jauh karena semakin jauh jarak pengaliran akan memperlama waktu pengaliran, sehingga untuk kapasitas saluran yang sama akan memperbesar nilai to (waktu konsentrasi) dan td (waktu pengaliran), dan artinya menambah waktu pengeringan.


Peta Sungai dan Daerah Banjir DIY

2 komentar:

  1. maaf mas mba infonya menarik sekali, boleh berbagi lebih banyak mengenai data2nya ke email saya mas/mba? yosimpertiwi@gmail.com kebetulan TA saya seputar gajah wong, terimakasih :)

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus