I. PENDAHULUAN
1.1.
Sarana Drainase untuk seluruh wilayah
Kota Yogyakarta meliputi drainase utama berupa Sungai Gadjahwong, Sungai
Winongo dan Sungai Code, saluran drainase sekunder (pembawa) tertutup, saluran
drainase sekunder (pembawa) terbuka, saluran tersier (pengumpul) tertutup,
saluran tertier (pengumpul) terbuka. Seluruh sirkulasi drainase disalurkan
menuju ke saluran drainase utama berujud ketiga sungai diatas.
1. Sungai Code (39,00 km)
Sungai
Code dengan hulu di daerah Kaliurang melintasi wilayah Kabupaten Sleman, Kota
Yogyakarta, dan Kabupaten Bantul. Sungai Code bermuara di sungai Opak di daerah
Jetis. Panjang alur sungai ± 39,00 km. Sungai Code merupakan system drainase
utama yang paling penting untuk wilayah Kota Yogyakarta.
2.
Sungai Gajahwong (21,00 km)
Sungai
Gajahwong dengan panjang alur ± 21,00 km bermuara di sungai Opak di daerah
Plered. Dengan area pelayanan Ngaglik dan Depok di Kabupaten Sleman, sebagian
wilayah Kota Yogyakarta, dan Banguntapan serta Plered di Kabupaten bantul.
3.
Sungai Winongo (43,75 km)
Sungai Winongo
dengan panjang alur 43,75 km. Bagian hulu sungai Winongo ada di daerah
Kaliurang atau sekitar Turi/Pakem. Daerah Aliran Sungai (DAS) sungai Winongo
seluas ± 88,12 Km2. Sungai Winongo melintasi wilayah Kabupaten Sleman, Kota
Yogyakarta, dan Kabupaten Bantul. Sungai Winongo bermuara di Sungai Opak pada
daerah Kretek.
1.2. Drainase
Makro
Sistem drainase induk yang ada di wilayah Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah sistem drainase alam, yaitu suatu sitem
yang menggunakan sungai dan anak sungai sebagai sistem primer penerima air
buangan dari saluran – saluran sekunder dan tersier yang ada. Keseluruhan
sistem tersebut berfungsi untuk menyalurkan air hujan dan limbah rumah tangga.
Sebagian dari saluran drainase sekunder yang ada di DIY juga menggunakan
saluran irigasi sebagai saluran pembuangannya.
II.
PERMASALAHAN
YANG DI HADAPI
2.1 Genangan
Genangan dengan parameter luas
genangan, tinggi genangan, dan lamanya genangan merupakan permasalahan utama
yang menjadi fokus perhatian studi. Terjadinya genangan pada beberapa lokasi di
wilayah studi secara pasti akan menimbulkan permasalahan berkelanjutan pada
system interaksi sosial, ekonomi, budaya, dan aspek interkasi masyarakat
lainnya.
Gambar : Lokasi Genangan di Kota Yogyakart
Dari hasil
inventarisasi serta informasi dari berbagai sumber, penyebab terjadinya
genangan tersebut antara lain adalah :
1.
Luapan dari beberapa sungai yang
disebabkan oleh :
a. Kapasitas sungai yang ada tidak mampu
menampung debit banjir yang terjadi;
b. Pada beberapa lokasi penampang hidrolis yang ada
tidak memadai atau tidak dapat menampung debit banjir yang ada;
c. Pada
beberapa lokasi penampang hidrolis sungai berkurang akibat dari terjadinya
sedimentasi dan penyempitan penampang sungai.
d. Akibat
kerusakan tanggul sungai dan bocoran – bocoran yang tidak segera diatasi,
sehingga semakin membesar tingkat kerusakan,
2.
Elevasi dari beberapa area berada
di bawah elevasi muka air air banjir sungai, bahkan beberapa lokasi elevasinya
berada di bawah muka air normal sungai. Dengan kondisi tersebut debit limpasan
tidak bisa segera dibuang ke sungai, dan jika terjadi kebocoran pada tanggul
sungai dapat menyebabkan genangan
pada areal yang sangat luas.
3.
Sistem pembuang yang ada belum dibagi menurut system pembagian Block
plan yang ideal, sehingga ada sungai yang melayani area terlalu besar, dan
akibatnya kapasitas sungai tidak mampun menampung debit yang terjadi.
4. Luapan
dari system pembuang yang ada sebagai akibat pendangkalan, penyempitan dan
penyumbatan oleh sampah;
5. Luapan akibat gorong – gorong, sypon, dan
pintu pengatur tersumbat atau tidak berfungsi
6. Inlet
saluran tidak tepat posisinya, terlalu tinggi dan sering tersumbat oleh
pasir/tanah dan sampah sehingga limpasan air hujan tidak bisa/kurang lancar
masuk ke sistem saluran drainase yang ada.
7. Luapan
akibat penggunaan bantaran sungai untuk kepentingan yang tidak semestinya;
8. Akibat
aliran permukaan (“debit run off”) pada saat hujan yang tidak bisa segera
dibuang atau dialirkan ke sungai atau system pembuang yang ada, karena pada
saat bersamaan sungai yang ada sudah penuh sehingga tidak mampu menampung
tambahan debit dari aliran permukaan;
9. Berkurangnya
luas areal resapan akibat perubahan penggunanaan lahan (untuk permukiman, dan
lain sebagainya);
10.
Kondisi fisik jaringan drainase yang ada sudah kurang memadai, sehingga
sering terjadi kebocoran dan luapan pada tanggul saluran;
11.
Tidak terdapatnya system (jaringan) drainase yang memadai pada kawasan
atau lokasi rawan banjir, sehingga debit akibat aliran permukaan tidak bisa
dibuang/dialirkan secara cepat.
BEBERAPA
LOKASI GENANGAN DI WILAYAH KOTA YOGYAKARTA
No
|
LOKASI
|
LUAS
(ha)
|
LAMA
GENANGAN
|
TINGGI
GENANGAN
|
PENYEBAB
|
1
|
Sambirejo RT 5
dan 6 RW 1
|
0.88
|
6
JAM
|
1
cm
|
Belum ada talud Sungai Gajah Wong
|
2
|
Sambirejo
|
0.62
|
Belum ada talud Sungai Gajah Wong
|
||
3
|
Nyi Pembayun (Utara HS)
|
5.51
|
Belum ada SAH pada posisi barat
|
||
4
|
Jl. Mondorokan
|
3.05
|
SAH tidak mampu menampung
|
||
5
|
Jl. Kemasan
|
2.63
|
SAH tidak mampu menampung
|
||
6
|
LingkunganBrontokusuman
RT 14,15, 16 RW 05
|
1.83
|
45
menit
|
35
cm
|
SAH
terlalu sempit
|
7
|
Jl. Sisingamangaraja RT 51 RW 14, RT 60 RW 16
|
2.44
|
1-2
jam
|
20
cm
|
Tersumbatnya
saluran
|
8
|
Lingkungan Karangkajen RT 57 RW 15
|
4.66
|
1-2.5
jam
|
30
cm
|
Grill
tersumbat sampah dan kemiringan kurang
|
9
|
Jl. Jend. Sudirman, Utara Bethesda
|
0.76
|
30
menit
|
20
cm
|
SAH
tidak mampu menampung
|
10
|
Jl. Kahar Muzakar (Jualan Buku)
|
1.61
|
30
menit
|
20
cm
|
SAH
tidak mampu menampung
|
11
|
Sepanjang Kali Belik RW X, RW XV
|
2.30
|
1
jam
|
Sungai
tidak mampu menampung
|
|
12
|
Pertigaan SD Giwangan RT 11 RW IV
|
1.39
|
5
jam
|
10
cm
|
Tersumbatnya
Saluran Irigasi
|
13
|
Jl. Tegalturi, Depan Pamel
|
1.27
|
6
jam
|
10
cm
|
SAH
tidak dapat menmpung dan tersumbatnya saluran
|
14
|
Malangan RT 37,
RW 13
Depan SD Mendungan I dan II |
0.34
|
2
jam
|
25
cm
|
SAH
tidak mampu menampung
|
15
|
RW XIV,
Perempatan
Wirosaban ke Timur Jl. Sorogenen |
1.20
|
Selama
Hujan
|
30
cm
|
SAH
tidak mampu menmpung
|
16
|
Jl. Mantrigawen Lor
|
0.56
|
2
jam
|
20
cm
|
SAH
tidak mampu menmpung
|
17
|
Gang Suryometaraman
RT 53, RW 14
|
0.35
|
2
jam
|
7
cm
|
Rendahnya
posisi gang
|
18
|
Jl. Sawojajar RT 53,RW14
|
0.44
|
7
jam
|
20
cm
|
SAH
kurang berfungsi
|
19
|
RT 03, RW 01
Barat
jl Golo sekitar balai RW
|
0.67
|
2
jam
|
25
cm
|
Saluran
air tidak berfungsi
|
20
|
Jl. Kebun Raya
Gembiroloka RT 19, 20
RW 6
|
4.75
|
1
jam
|
10
cm
|
Belum
ada selokan di timur jalan
|
21
|
Jl. Andong depan SMKK
|
1.83
|
2
jam
|
25
cm
|
Adanya
sampah yang mmenyumbat
|
22
|
Jl. Batikan RT 31, gang
masuk Sentulrejo
|
0.66
|
1-2
hari
|
7
cm
|
Aspal
tidak rata bergelombang
|
23
|
Jl.Ngasem
|
1.02
|
45
menit
|
30
cm
|
SAH
tidak mampu menampung
|
24
|
Kampung
Purwodiningratan RT
46, RW IX
|
0.90
|
30
menit
|
30
cm
|
Pendangkalan
SAH
|
25
|
Jl.Glagahsari
|
1.86
|
Selama
Hujan
|
20
cm
|
SAH
tidak mampu menampung
|
26
|
Depan Pasar
Karangwaru Lor RW 13
RT 47
|
1.42
|
Selama
Hujan
|
10
cm
|
SAH
tidak dapat menampung
|
27
|
Jl. Wiratama Bts
Kelurahan Pakuncen dan Kel. Tegal Mulyo |
3.85
|
2
jam
|
50
cm
|
Luapan
dari Kelurahan Tegalrejo
|
28
|
Jl. Prof. Yohanes
|
2.05
|
15
menit
|
20
cm
|
SAH
tidak mampu menampung
|
29
|
Jl. Cik Ditiro
|
30
menit
|
30-40
cm
|
SAh
tidak mampu menmpung
|
|
30
|
Jl. Sarjito Timur
Jembatan
|
19.03
|
15
menit
|
30
cm
|
SAH
tidak mampu menampung
|
31
|
Perum Sendok Indah
|
3.09
|
SAH
tidak mampu menampung
|
||
32
|
Jl. Pakuncen
(Batas RW
02, dan RW 04)
|
1.24
|
3-4
jam
|
40
cm
|
Lubang
buangan air kurang besar
|
33
|
RW XII, Jl.
Poncowolo
|
1.74
|
SAH
rusak sehingga air meluap
|
||
34
|
Jl. Warungboto
Kampung
|
0.86
|
Selama
Hujan
|
10
cm
|
Belum
ada SAH
|
35
|
RT 22, RW V Jl.
Patehan
Kidul - Patehan
Wetan
|
1.31
|
2
jam
|
30-40
cm
|
Selokan
Kurang besar, usul pembuatan selokan pada sisi selatan jalan
|
36
|
Pertigaan Jalan Veteran
|
0.78
|
Selama
Hujan
|
15
cm
|
Tidak dapat mengalir ke timur karena
lebih
rendah dari jalan |
37
|
Halaman Camat
Umbulharjo
|
0.43
|
10
cm
|
Air
tidak dapat keluar karena air relative rendah
|
Khusus
untuk Kota Yogyakarta data genangan yang menjadi prioritas adalah
genangan
di 11 (sebelas) lokasi yaitu :
1.
Genangan
di Kel. Pakuncen
2.
Genangan
di Kel. Prawirodirjan
3.
Genangan
di Kel. Klitren
4.
Genangan
Jl. Bimosakti
5.
Genangan
di Tahunan
6.
Genangan
di Kt.Gede
7.
Genangan
di Giwangan
8.
Genangan
di jl. Parangtritis
9.
Genangan
jl Soka
10. Genangan
perempatan Gondomanan
11.
Genangan
Panjaitan
2.2
Kebijakan Pembangunan Antar Kawasan
Sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya bahwa penanganan permasalahan drainase harus merupakan suatu
kegiatan yang berskala regional dan bersifat lintas wilayah maupun lintas
sektoral. Penanganan permasalahan di Kota Yogyakarta tanpa menangani
permasalahan yang ada di kawasan hulu (Kab. Sleman) maupun kawasan hilir (Kab.
Bantul) tidak akan memberikan solusi yang bersifat jangka panjang. Demikian
juga kaitan antara infrastruktur drainase dengan infrastruktur lainnya harus
mendapat perhatian yang seksama, sehingga penanganan yang dilakukan merupakan
suatu kegiatan yang komprehensif.
Dalam kaitan dengan topik ini,
maka permasalahan yang terkait dengan kebijakan pembangunan antar kawasan
antara lain adalah : 1.) Belum adanya kebijakan yang terpadu antar wilayah kota
dan kabupaten di propinsi DIY untuk pengendalian kawasan resapan di daerah hulu
sungai, 2.) Belum adanya peraturan untuk pengendalikan luas lahan terbuka
sebagai daerah resapan air, 3.) Belum adanya koordinasi dari para pelaku
pengelolaan dari setiap komponen infrastruktur dalam perencanaan maupun
pembangunannya.
2.3 Koordinasi
Pengawasan Pembangunan
Koordinasi
pengawasan pembangunan diperlukan untuk mencegah terjadinya permasalahan yang
menimbulkan dampak merugikan dari aspek drainase (termasuk mencegah terjadinya
banjir). Sebagai contoh suatu kawasan dengan elevasi di bawah muka air banjir
sungai terdekat, maka perencanaan pembangunan sarana dan prasarana di kawasan
tersebut harus sudah mengantisipasi kemungkinan terjadinya banjir, yaitu dengan
melakukan penimbunan sampai batas peil banjir sebelum prasarana tersebut
dibangun.
Pembangunan
suatu jaringan drainase di suatu kawasan tidak bisa hanya didasarkan pada data
masukan dari kawasan internal. Kapasitas saluran yang direncanakan harus
memperhatikan kapasitas saluran yang sudah ada di kawasan lain, sehingga sistem
yang dibangun tidak memberikan dampak negatif terhadap kawasan lain. Dengan
koordinasi pengawasan yang efektif dampak negatif tersebut dapat dihindarkan.
Lemahnya koordinasi pengawasan pembangunan merupakan masalah yang sering
terjadi dalam pembangunan wilayah DIY. Lemahnya koordinasi pengawasan
pembangunan dapat dilihat pada uraian berikut ini :
2.3.1
Perubahan Peruntukan Lahan
Pada dasarnya, peruntukan lahan
pada suatu kawasan sudah ditentukan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
yang sudah disyahkan oleh Bappeda. Namun pada prakteknya, ketentuan tersebut
tidak selalu
dipatuhi oleh berbagai pihak yang terlibat
dalam kegiatan pembangunan di Wilayah Studi. Hal yang paling sering terjadi
adalah kawasan penampungan/resapan air atau kawasan hijau terbuka dirubah
peruntukannya menjadi kawasan perumahan atau kawasan industri. Akibat dari
perubahan peruntukan lahan tersebut, maka luasan dari kawasan ”parkir” air
hujan akan berkurang secara sistematis dan pada akhirnya akan memperparah
masalah banjir di wilayah studi.
2.3.2
Pelanggaran terhadap Rasio KDB
KDB atau Koefisien Dasar Bangunan
adalah suatu rasio yang menunjukan perbandingan antara luas bangunan terhadap
luas lahan yang tersedia. Sehingga untuk luas lahan yang sama, apabila rasio
tersebut semakin besar maka bangunan yang boleh didirikan juga semakin luas.Rasio
KDB ditetapkan oleh Dinas Tata Kota dengan mengacu pada kondisi dan peruntukan
lahan pada lahan yang akan didirikan bangunan. Dengan demikian, rasio KDB
merupakan batas maksimum yang diperbolehkan oleh Dinas Tata Kota untuk
mendirikan bangunan pada suatu wilayah. Namun pada umumnya, batas rasio
tersebut seringkali dilanggar oleh para pemilik bangunan dalam upaya untuk
mendapatkan bangunan yang lebih luas. Apabila pelanggaran rasio KDB tersebut
dilakukan secara massal dan terus menerus, maka luas lahan terbuka akan menurun
secara drastis dan pada akhirnya akan memperparah masalah banjir di wilayah
studi.
2.3.3
Diabaikannya batas Peil Banjir
Sebagaimana dijelaskan pada sub
bab sebelumnya, dimana salah satu penyebab banjir di wilayah studi adalah
elevasi kawasan perumahan yang berada di bawah muka air banjir sungai maupun di
bawah muka air normal, sehingga kawasan atau area perumahan tersebut menjadi
kawasan yang rawan banjir. Kondisi tersebut terjadi karena pelaksanaan
pembangunan kawasan perumahan oleh Pengembang tidak memperhatikan peil banjir
yang ada. Pengembang seharusnya melakukan penimbunan sampai pada batas peil
banjir sebelum mulai melaksanakan pembangunan perumahan.
2.3.4 Pelanggaran
Penggunaan Lahan Pada Kawasan Konservasi
Hal
lain yang sering terlihat dari lemahnya koordinasi pengawasan pembangunan
adalah digunakannya lahan yang berada pada kawasan konservasi untuk keperluan
pembangunan. Pelanggaran tersebut mengakibatkan berkurangnya luasan dari
kawasan konservasi dan pada akhirnya akan mengurangi luasan dari kawasan
resapan atau ruang hijau terbuka.
2.4. Tinjauan
Terhadap Sistem Penyaluran Air Hujan Yang Ada
Tinjauan
terhadap sistem penyaluran air hujan yang ada akan mencakup tinjauan terhadap
sungai sebagai badan penerima air utama, dan sistem saluran sebagai badan
pembawa.
2.4.1 Tinjauan
Terhadap Sungai Induk
Perhitungan
mengenai kapasitas sungai berdasarkan profil sungai yang ada untuk kemudian
dibandingkan dengan debit banjir hasil perhitungan dengan periode ulang 10
tahun, akan memberikan gambaran mengenai kemungkinan terjadinya atau tidak
terjadinya luapan pada sungai dimaksud. Sampai saat ini data profil sungai dan
data debit banjit dari sungai – sungai utama di wilayah studi belum didapatkan.
Meskipun demikian berdasarkan peta banjir dari Proyek Pengendalian Banjir DIY
(dahulu) kemungkinan terjadinya banjir hanya pada lokasi – lokasi seperti yang
terlihat pada gambar 9.13. Dimana pada lokasi – lokasi tersebut telah dibangun
tanggul banjir kecuali untuk lokasi Pundong kearah Kedungmiri.
2.4.2 Tinjauan Terhadap Saluran Yang Ada
Meliputi tinjauan dimensi, keadaan
saluran, perlengkapan saluran yang ada, serta hal – hal lain yang dianggap
perlu sehingga dapat diharapkan akan didapat dimensi saluran yang sesuai. Hasil
pengamatan lapangan adalah sebagai berikut :
a. Tingkat
pelayanan sistem yang ada masih rendah dalam konteks perbandingan antara luas
yang harus dilayani dengan panjang sistem yang sudah terbangun/terpasang.
b. Kapasitas
saluran belum di disain menurut sistem blok kawasan yang harus dilayani,
sehingga ada beberapa saluran yang melayani suatu kawasan terlalu luas.
c. Sedimentasi
dan timbunan sampah menyebabkan kapasitas pengaliran saluran berkurang,
akibatnya terjadi luapan.
d. Genangan
yang terjadi dari hasil pengamatan disebabkan oleh luapan, baik dari jaringan
tersier, sekunder maupun primer.
e. Sistem
jaringan belum tertata menurut hirarki saluran, dimana hirarki ini akan
menentukan besarnya kapasitas pengaliran yang direncanakan. Dari hasil
pengamatan ada sistem sekunder yang dimensinya lebih kecil dari sistem
tersiernyae.Ukuran gorong – gorong yang terlalu kecil, kerusakan gorong –
gorong maupun kerusakan pada saluran merupakan salah satu penyebab terjadinya
luapan dan genangan.
2.5 Pemeliharaan Prasarana dan Sarana Drainase
Akibat
keterbatasan dana, selama ini pemeliharaan prasarana/sarana drainase kurang
mendapat perhatian yang cukup dari Instansi yang berwenang. Pemeliharaan
prasarana/sarana tidak dilakukan menurut suatu pola yang teratur. Biasanya
pemeliharaan akan dilakukan apabila kondisi kerusakan sudah parah atau untuk
mengatasi kondisi darurat dan pemeliharaan tersebut dilakukan secarapartial
tidak secara menyeluruh.
Akibat dari tidak
teraturnya pemeliharaan yang dilakukan, maka :
•Prasarana/sarana
drainase tidak berfungsi dengan optimal.
•Meningkatnya kerugian yang diderita oleh masyarakat.
•Meningkatnya biaya pemeliharaan.
•Meningkatnya kerugian yang diderita oleh masyarakat.
•Meningkatnya biaya pemeliharaan.
Kurangnya kesadaran masyarakat
mengenai arti penting sarana drainase untuk menjaga kesehatan lingkungan juga
merupakan salah satu permasalahan yang perlu mendapat perhatian. Semua pihak
paham bahwa membuang sampah di selokan akan dapat menimbulkan banjir karena
kapasitas saluran menjadi berkurang. Namun faktanya hal – hal tersebut masih
terus terjadi.
III.
ANALISIS
PERMASALAHAN
Analisis permasalahan sebagai
bahan rekomendasi didasarkan pada komponen – komponen yang menjadi variabel
dalam konsep penataan sistem drainase. Komponen-komponen yang perlu
diperhatikan di dalam penataan sistem drainase antara lain :
3.1. Pola Aliran
Pola aliran harus dibuat
sedemikian rupa sehingga memenuhi Rencana Tata Ruang Wilayah, baik dalam aneka
ragam fasilitas yang direncanakan oleh tata ruang tersebut, maupun pentahapan
pelaksanaan tata ruang tersebut. Proporsi pembagian daerah alirannya lebih
ditentukan oleh kondisi topografi daerahnya, sedangkan penentuan arah alirannya
ditentukan oleh lereng lahan yang dibuat drainasenya. Pola aliran dan jenis
pengalirnya didesain sedemikian rupa sehingga mendukung prinsip desain saluran
yang memerlukan pemeliharaan seminimum
mungkin. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penentuan pola aliran adalah :
•Badan penerima air eksisting Jaringan
sungai yang ada dalam suatu wilayah perencanaan,
merupakan titik akhir dari aliran
air yang ada.
•Sistem drainase yang ada dalam
perencanaan pola aliran, sedapat mungkin tidak merusak pola alami/buatan yang
sudah ada sehingga pekerjaan yang dilaksanakan akan menjadi lebih ekonomis dan
memungkinkan untuk menjangkau seluruh saluran di daerah tersebut.
•Topografi
daerah aliran pola
aliran yang mengikuti kemiringan lahan akan mempermudah pengaliran air dan
selain itu pekerjaan akan menjadi lebih ekonomis dan mudah dalam
pengoperasiannya.
•Jalur jalan yang ada sering
dipergunakan dalam penentuan pola aliran sehingga pola aliran drainase akan
dibuat mengikuti jalur jalan yang ada.
•Batas
administrative daerah aliran diperlukan untuk menentukan kapasitas dari air
yang melimpas kedalam saluran dan menjadi beban bagi Instansi yang berwenang
pada daerah administratif tersebut.
Pembenahan
pola aliran untuk suatu daerah yang sudah lama berkembang terutama untuk daerah
yang terletak di zona aliran pantai adalah sebagai berikut :
• Jika
daerahnya cukup tinggi di atas elevasi air pasang, maka penataan drainasenya
bisa menggunakan kanal-kanal yang bisa dialirkan ke sungai terdekat.
•
Untuk
daerah elevasinya lebih rendah dari air pasang maka harus dibuat polder yang
dilengkapi dengan danau penampungan dan instalasi pompa. Untuk menekan besarnya
kapasitas pompa yang dibutuhkan, sistem polder ini bisa dikombinasikan dengn
pemakaian pintu-pintu klep.
Perencanaan
sistem drainase pada suatu daerah reklamasi baru sebaiknya memakai sistem
polder. Keuntungan dari sistem tersebut adalah menghindari pemakaian material
tanah urug yang terlalu besar sehingga dampak negatif yang mungkin timbul pada
lokasi sumber material urug dapat dihindarkan.
3.2. Normalisasi Sungai - sungai dan
Saluran Drainase
Kapasitas
pengaliran sungai mengalami penurunan akibat sedimentasi, endapan sampah dan
berbagai bangunan yang berada di bantaran sungai serta akibat kegiatan manusia
lainnya. Begitu juga yang dialami oleh saluran-saluran yang ada, sehingga
daerah yang seharusnya masih tergolong aman banjir menjadi daerah yang rawan
banjir. Untuk mengatasi masalah tersebut perlu diadakan normalisasi
sungai-sungai dan saluran-saluran drainase. Normalisasi yang perlu dilakukan
bergantung pada kondisi masing-masing sungai/jalur drainase
3.3. Mengembalikan Fungsi Bantaran
Sungai
Keberadaan
bantaran bagi sungai adalah sangat penting dan merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari sungai itu sendiri, karena bantaran berfungsi sebagai lahan
cadangan sungai untuk menampung debit banjir yang besar. Pada sebagian sungai
kondisi dan batas bantaran ini tidak jelas, sebaliknya ada yang mempunyai
bantaran yang jelas dengan batas berupa tanggul alam dan bertanda bebas aliran
air yang jelas pula. Tentu saja tidak seluruh sungai mempunyai bantaran karena
lahan bantaran tersebut terbentuk secara alamiah dari sungai yang bersangkutan.
Untuk
mengembalikan fungsi bantaran ini perlu dirintis dengan mengadakan
pendataan/inventarisasi bantaran dengan batas-batasnya, diberi tanda dan
memberikan penjelasan kepada masyarakat akan batas dan manfaat bantaran sungai
tersebut.
Selain
itu untuk mengantisipasi perkembangan pembangunan yang pesat di masa mendatang,
pemerintah hendaknya konsisten terhadap pemanfaatan daerah bantaran sungai ini,
sehingga bantaran tetap berfungsi seperti yang dikehendaki.
3.4 .Pembuatan Tandon Air
Pembangunan tandon-tandon air buatan pada beberapa
lokasi yang potensial untuk dikembangkan sebagai kawasan retensi air hujan.
Dengan adanya tandon – tandon air, maka debit air yang mengalir ke badan
penerima air akhir (sungai) dapat dikurangi sebesar kapasitas embung atau
tandon air tersebut. Untuk lebih jelasnya, contoh tandon air tersebut dapat
dilihat pada Gambar berikut
3.5.Pemeliharaan Sarana Drainase
Sarana
drainase yang terbangun akan berfungsi sebagaimana yang diharapkan jika
disertai dengan upaya pemeliharaan yang baik pula. Ada beberapa unsur yang
diperlukan untuk menunjang suksesnya pemeliharaan ini, antara lain :
1.Tersedia
badan/lembaga yang khusus menangani masalah tersebut
2.Adanya
peraturan yang mendukung
3.Penyediaan
dana yang memadai
4.Melibatkan
peran serta masyarakat
Secara
konsepsi kegiatan pemeliharaan ini dikelompokkan menjadi 3 (tiga) tipe, dimana
pengelompokkan ini dilakukan menurut maksud dan sasaran kegiatan pemeliharaan.
Tipe pemeliharaan tersebut adalah :
1.Pemeliharaan
rutin :
pemeliharaan dilakukan secara rutin dari waktu ke waktu dengan tujuan untuk
menjaga kondisi prasarana drainase agar tetap dapat berfungsi sebagaimana
mestinya. Sasaran pemeliharaan rutin adalah kerusakan – kerusakan kecil,
pembersihan sampah dan kegiatan pemeliharaan lain yang tidak memerlukan biaya
besar.
2.Pemeliharaan
Berkala : pemeliharaan
dilakukan secara berkala dalam periode
waktu (3 bulan, 6 bulan) tertentu dengan tujuan untuk mengembalikan kondisi
prasarana drainase agar kembali berfungsi sebagaimana mestinya. Sasaran
pemeliharaan berkala adalah kerusakan – kerusakan yang cukup berat, dimana bila
kerusakan tersebut tidak segera ditangani akan berkembang menjadi semakin besar
atau membahayakan dan dapat menimbulkan kerugian yang lebih besar. Kegiatan
pemeliharaan berkala memerlukan penanganan teknis yang detail dan biaya yang
lebih besar.
3.Pemeliharaan Darurat : pemeliharaan darurat dilakukan untuk mengatasi kondisi – kondisi darurat yang
terjadi, yang memerlukan penanganan dengan segera. Sebagai contoh adalah
tanggul yang jebol pada saat musim hujan yang segera memerlukan penanganan yang
bersifat darurat.
3.6.Pembuatan Sumur Resapan
Permasalahan
lingkungan yang sering terjadi adalah terjadinya banjir pada musim hujan dan
kekeringan pada musim kemarau. Selain itu, pada beberapa tempat terjadi pula
penurunan permukaan air tanah. Hal ini disebabkan adanya penurunan kemampuan
tanah untuk meresapkan air sebagai akibat adanya perubahan lingkungan yang
merupakan dampak dari proses pembangunan.
Salah satu strategi atau cara
pengendalian air yang baik untuk mengatasi banjir atau kekeringan adalah dengan
cara meningkatkan kemampuan tanah meresapkan air hujan, yaitu dengan pembuatan
sumur resapan terutama pada kawasan pemukiman. Pembuatan sumur resapan ini
merupakan upaya untuk memperbesar resapan air hujan ke dalam tanah dan
memperkecil aliran permukaan (run off) sebagai penyebab banjir. Dengan
demikian, semakin banyak air yang mengalir ke dalam tanah berarti akan banyak
tersimpan air tanah di bawah permukaan bumi. Air tersebut dapat dimanfaatkan
kembali melalui sumur- sumur atau mata air yang dapat dieksplorasi setiap saat.
Dengan adanya sumur resapan maka jumlah
aliran permukaan akan menurun sehingga terkumpulnya air permukaan yang
berlebihan di suatu tempat dapat dihindari. Dengan demikian, bahaya banjir
dapat dikurangi pula. Di sisi lain, menurunnya aliran permukaan juga akan
menurunkan tingkat erosi tanah.
Dari
uraian diatas, tampak bahwa sumur resapan memiliki beberapa fungsi yang positif
bagi lingkungan. Adapun fungsi dari sumur resapan, antara lain :
•Pengendalibanjir
•Konservasitanah
•Menekan laju erosi
•Konservasitanah
•Menekan laju erosi
Melihat
banyaknya manfaat dari sumur resapan bagi kelestarian lingkungan hidup maka
pembuatan sumur resapan perlu diterapkaan dalam kehidupan masyarakat, terutama
di wilayah perkotaan. Upaya tersebut akan berfungsi apabila seluruh masyarakat
sadar dan mau menerapkannya, karena peran sumur resapan tidak akan berarti
apabila hanya beberapa penduduk saja yang menerapkannya.
3.7.Penanggulangan
Erosi Lahan
Banyak upaya
yang harus dilakukan untuk menanggulangi masalah erosi lahan ini di antaranya
dapat dikelompokkan kedalam dua jenis, yaitu upaya penanggulangn secara fisik
dan upaya penanggulangan secara non- fisik.
3.7.1.Upaya
Penanggulangan Secara Fisik
Kegiatan ini
dapat dimulai dengan mengadakan inventarisasi jenis kerusakan lahan yang
terjadi, dan mengadakan data tentang jenis tanah yang ada pada kawasan perbukitan
serta menetapkan standar yang akan ditetapkan sesuai dengan keadaan setiap
lahan menurut kategori yang homogen.
Metodologi yang
dapat diterapkan misalnya pembuatan “terassering” atau pengendalian dengan
check dam, pada kawasan yang berlereng cukup terjal. Metoda penanaman rumput,
perlu sampai ke penanaman pohon biasanya sering digunakan untuk mengatasi erosi
lahan, namun waktu yang diperlukan akan cukup lama, sehingga diperlukan
bangunan penangkap erosi untuk daerah-daerah kritis sebelum program jangka
panjang/penanaman pohon mulai berfungsi.
3.7.2 Upaya
Penanggulangan Secara Non Fisik
Upaya ini
memerlukan waktu yang relatif lama, karena melibatkan penduduk yang berdiam di
sekitar lahan erosif. Upaya ini meliputi penyebarluasan informasi pembangunan
yang berwawasan lingkungan, antara lain menyangkut persyaratan-persyaratan yang
harus dipenuhi dalam pemberian izin bagi pembangunan kawasan baik industri,
pemukiman maupun wisata.
3.8. Penataan Sistem Penyaluran Air Hujan
3.8.1 Umum
Penyaluran system air
hujan merupakan faktor dominan bagi penataan system drainase di Wilayah Studi.
Faktor – faktor yang perlu diperhatikan dalam penataan system drainase Wilayah
Studi adalah mengenai sistem penyaluran air hujan yang ada, daerah pelayanan,
topografi, geologi, dasar perencanaan dan Rencana Tata Guna Lahan di masa yang
akan datang.
Sistem yang
direncanakan adalah sistem yang terpisah dari saluran pengumpul air buangan
kota. Dalam perencanaan sistem penyaluran air hujan digunakan beberapa
parameter, dalam menentukan arah jalur saluran drainase terdapat batasan –
batasan sebagai berikut :
1. Arah pengaliran mengikuti garis ketinggian yang
ada sehingga diharapkan terjadi aliran secara gravitasi.
2. Pemanfaatan sungai atau anak sungai sebagai badan
air penerima dari out fall yang direncanakan.
3. Menghindari banyak perlintasan saluran pada
jalan, sehingga mengurangi penggunaan gorong – gorong.
4. Untuk saluran dengan dimensi lebar yang cukup
besar seperti saluran induk, diusahakan tidak terletak di sisi jalan karena
akan memperbanyak jembatan persil rumah.
3.8.2 Rencana Jaringan Sistem Penyaluran
Air Hujan
Rencana sistem jaringan
drainase yang dikembangkan harus didasarkan pada keadaan topografi, letak badan
air penerima . Berdasarkan faktor
tersebut di atas akan ditentukan sistem jaringan drainase mulai dari saluran
induk, sekunder dan seterusnya.
Dengan diketahui luas
daerah pelayanan, terutama yang menjadi luas tangkapan suatu jalur sungai yang
artinya luas daerah dimana aliran permukaan akan ditampung oleh jalur sungai,
maka akan dapat ditentukan debit pengaliran air hujan. Sehingga dapat mentukan
pembagian blok – blok pelayanan mana yang akan ditampung oleh suatu sungai.
Dengan demikian dapat dicegah kemungkinan meluapnya badan air penerima yang
disebabkan besar debit pengaliran air hujan yang diterima melebihi daya
tampung.
3.8.3 Pembagian Daerah Pelayanan
Yang dimaksud daerah
pelayanan adalah luas Wilayah Studi yang direncanakan akan diperhitungkan dalam
sistem penyaluran air hujan. Dengan diketahui daerah perencanaan maka dapat
ditentukan besar debit pengaliran.
Daerah pelayanan ini
akan dibagi menjadi beberapa blok pelayanan, dimana setiap blok pelayanan akan
dilayani oleh sebuah saluran. Dasar dari pembagian blok pelayanan ini terutama
pada keadaan letak dari badan air penerimanya dan setiap blok ditentukan
koefisen pengalirannya. Pembagian Blok daerah pengaliran ditentukan berdasarkan
pertimbangan sebagai berikut :
1.
Luas daerah dari blok pengaliran akan
dibatasi, dengan pertimbangan agar air hujan dapat tertampung pada saluran
dengan dimensi tertentu yang tidak terlalu besar. Dimensi saluran drainase kota
yang terlalu besar akan terlalu sulit untuk direalisir karena terkait dengan
masalah lahan yang tersedia,
2.
Topografi daerah untuk menentukan arah
aliran, dimana secaraprinsip arah aliran harus mengikuti arah kemiringan lahan
yang ada,
3.
Jarak pengaliran dibatasi tidak terlalu
jauh karena semakin jauh jarak pengaliran akan memperlama waktu pengaliran,
sehingga untuk kapasitas saluran yang sama akan memperbesar nilai to (waktu
konsentrasi) dan td (waktu pengaliran), dan artinya menambah waktu pengeringan.
maaf mas mba infonya menarik sekali, boleh berbagi lebih banyak mengenai data2nya ke email saya mas/mba? yosimpertiwi@gmail.com kebetulan TA saya seputar gajah wong, terimakasih :)
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus